Pada tanggal 18-19 Mei 2011 yang lalu, sebuah perhelatan besar dilangsungkan di Universitas Ibn Khaldun, Bogor. Acara bertajukInternational Seminar on Islamic Educationdigelar dengan mengundang para ahli dan cendekiawan Muslim dunia untuk menyampaikan pandangan-pandangannya mengenai pendidikan Islam.

Pada sesi pertama di hari pertama, banyak perhatian tertuju pada Prof. Dr. Malik Badri, cendekiawan Muslim dari Sudan yang telah dikenal luas sebagai pelopor dari ilmu psikologi Islam. Boleh dibilang, beliau adalah bintang utama pada sesi hari pertama, dengan membawa pengalaman puluhan tahun berkecimpung di dunia psikologi.
Dalam seminar internasional tersebut, Prof. Malik Badri membawakan makalahnya yang diberi judul Can the Theories and Practices of Western Educational and Psychological Disciplines be of Real Benefit to Muslim Students? Dalam abstraknya, beliau menjelaskan bahwa makalahnya tersebut berusaha menjelaskan manfaat yang bisa didapat dari proses islamisasi terhadap psikologi dan pendidikan modern, terutama yang datangnya dari Barat. Islamisasi ini perlu karena ilmu pengetahuan tentang manusia dan kehidupan sosialnya yang dirumuskan oleh Barat berpijak pada pemahaman yang sekuler, bahkan antagonistik terhadap agama.
Prof. Malik memulai uraiannya dengan menjelaskan bahwa tak ada masyarakat manusia, baik yang modern mau pun yang primitif, yang dapat eksis tanpa terikat dengan suatu worldview(cara pandang terhadap dunia) yang berlaku pada mayoritas penduduknya. Konsekuensinya,worldview ini memberikan pengaruh pada hubungan social mereka dan cara mereka mendidik dan membimbing anak-anak mereka dalam memahami perilaku abnormal dan penanganannya.
Inti dari worldview ini adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan abadi seputar sifat-sifat dasar manusia, dari mana ia berasal dan ke mana ia akan pergi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sendirinya berkaitan dengan hakikat kehidupan di dunia ini, keberadaan hidup sesudah mati, isu-isu mengenai alam semesta, bagaimana ia diciptakan, siapa yang memeliharanya dan apakah ia bersifat abadi ataukah fana. Worldview, baik yang berketuhanan (theistic) maupun tidak berketuhanan (non-theistic), pasti menawarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan senantiasa memberikan kepastian kepada para penganutnya bahwa cara hidup mereka adalah yang benar. Dengan demikian, bahkanworldview yang paling sekuler dan materialistik sekalipun pastilah berperan seperti kepercayaan religius (religious belief), yaitu sebuah agama dari ketidakreligiusan (a religion of irreligiousness).
Prof. Malik menekankan bahwa pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filosofis dan spiritual semacam itu memiliki akar yang sangat mendalam pada jiwa manusia. Anak umur empat tahun di seluruh belahan dunia dari seluruh latar belakang kebudayaan dapat tiba-tiba saja mengajukan pertanyaan filosofis yang tidak mudah untuk dijawab. Pada usia dini seperti inilah anak-anak mulai menerima indoktrinasi untuk melakukan keingkaran atau memilih jalan hidup yang ateis. Hal ini, menurut Prof. Malik, sejalan dengan sebuah hadits shahih yang mengatakan bahwa setiap bayi lahir ke dunia dalam keadaan fitrah, sedangkan orang tuanyalah yang menjadikan mereka Nasrani, Yahudi atau Majusi. Dalam perjalanan kedewasaannya itulah manusia menerima indoktrinasi yang menyimpangkan mereka dari jalan Islam.
QS. Al-A’raaf [7]: 172 juga menjelaskan bahwa seluruh jiwa manusia telah dikumpulkan di hadapan Allah SWT dan semuanya bersaksi bahwa Allah adalah Rabb mereka. Dengan demikian, hidup sebagai hamba adalah naluri dasar bagi setiap manusia. Jika kita tidak menjadi hamba Allah, maka kita akan menjadi hamba bagi partai, suku, bangsa, rekening bank, istri, atau yang lainnya. Dari situlah kita menentukan worldview mana yang akan kita pilih sebagai ‘agama’ kita.
Kebencian Terhadap Agama
Sejalan dengan analisis Dr. Adian Husaini ketika membedah sejarah kelahiran sekularisme (lihat pembahasannya di Majalah Al-Intima’ edisi lalu), Prof. Malik Badri juga menggarisbawahi pengalaman sejarah bangsa Eropa ketika Gereja menghegemoni. Jutaan manusia menjadi korban dari penindasan yang dilakukan oleh lembaga Inkuisisi hingga akhirnya masyarakat Eropa tak lagi bisa menerima cara hidup yang demikian dan mereka pun menolak agama ekstrem. Gelombang sekularisasi yang melucuti Gereja dari berbagai kewenangannya diikuti oleh abad Pencerahan (Renaissance) yang membawa Barat pada puncak kemajuan sains dan teknologinya.
Secara provokatif, para filsuf Barat mengekspresikan kebenciannya terhadap agama. Bertrand Russell, misalnya, menulis sebuah buku berjudul Why I Am Not A Christian. Dalam buku tersebut, Russell mengatakan bahwa “… the more intense has been the religion of any period and the more profound has been the dogmatic belief, the greater has been the cruelty and the worse has been the state of affairs.” (…semakin intens agama pada periode yang mana pun dan semakin dalam kepercayaan dogmatisnya, semakin dahsyat pula kekejamannya dan semakin parah kerusakan yang ditimbulkannya.)
Sikap antiagama semacam ini mengarah pada sekularisasi kemanusiaan yang memandang manusia sebagai makhluk tanpa jiwa. Tidak hanya itu, beberapa pemikir yang beraliran radical behaviorism juga berpendapat bahwa manusia juga tidak memiliki pikiran dan kesadaran, semata-mata karena akal dan kesadaran tak dapat diukur sama sekali. Bagi kaum behavioristseperti ini, manusia hanya memberikan respon pada stimuli yang diberikan oleh lingkungannya. Dalam ilmu pengetahuan yang telah disekulerkan semacam ini, tak ada tempat untuk Tuhan dan motif-motif keagamaan dalam jiwa manusia. Pandangan radikal semacam ini digambarkan dengan jelas oleh Sigmund Freud, tokoh yang mungkin paling berpengaruh di dunia psikologi:

They give the name of ‘God’ to some vague abstraction which they have created for themselves; having done so they can pose before all the world as deists, as believers in God, notwithstanding that their God is now nothing more than an insubstantial shadow…” (Mereka memberi nama ‘Tuhan’ untuk suatu abstraksi samar yang telah mereka ciptakan untuk diri mereka sendiri; dengan melakukannya mereka bisa berdiri di hadapan seluruh dunia sebagai kaum yang bertuhan, sebagai orang-orang yang percaya pada Tuhan, tanpa menyadari bahwa Tuhan mereka kini tidak lebih dari suatu bayangan yang tidak substansial…)
‘Menghewankan’ Manusia
Berbagai pemikiran yang lahir dalam iklim sekuler di Barat telah memberikan kontribusi dalam membentuk worldview mereka. Di antara kesemuanya itu, teori evolusi Darwin, psikoanalisa Freud dan behaviorism ala Watson telah memberikan pengaruh yang paling dominan.
Penolakan terhadap jiwa akan menempatkan manusia tidak lebih dari sekedar hewan yang superior, dan teori Darwin memudahkan masyarakat sekuler untuk menerima hal tersebut. Watson tampil dan mengatakan bahwa manusia tidak ada bedanya dengan hewan kecuali pada tipe perilaku yang ditampilkannya. Watson bahkan menyalahkan agama karena telah menghalangi manusia dari mengakui dirinya sebagai hewan, dan karenanya, menimbulkan permasalahan bagi dirinya sendiri.
…as a psychologist, if you are to remain scientific, must describe the behaviour of man in no other terms than those you would use in describing the behaviour of the ox you slaughter…” (…sebagai seorang psikolog, jika Anda ingin tetap bersikap ilmiah, maka Anda harus menggambarkan perilaku manusia dalam istilah-istilah yang juga Anda gunakan dalam menggambarkan perilaku sapi yang Anda sembelih…)
Mempertuhankan Manusia
Meskipun posisi sebagai ‘hewan’ dan ‘tuhan’ nampak cukup kontradiktif, namun sikap ‘menghewankan’ manusia dan mempertuhankannya berkontribusi pada sekularisme dengan cara yang berbeda, Jika sebelumnya manusia ‘dibebaskan’ dari aturan agama dan perasaan takut dari hukuman di akhirat sehingga kehidupannya tidak berbeda dari hewan, maka kini manusia ‘diangkat’ hingga ke level tuhan, sehingga mereka pun tidak canggung membuat aturan-aturannya sendiri, termasuk standar moral yang akan dianutnya sendiri.
Kaum behaviorist berpendapat bahwa manusia tidak memiliki sifat dasar; mereka layaknya daun kering yang diterbangkan oleh angin dari lingkungannya sendiri. Perilaku mereka hanya ditentukan oleh pengaruh lingkungan dan budaya di sekitarnya. Oleh karena itu, tidak ada standar etika yang berlaku secara umum. Pada akhirnya, kebenaran hanyalah masalah kesepakatan belaka. Oleh karena itu, di negara-negara Barat, manusia tidak lagi menganggap tabu hubungan homoseksual, menikah dengan sesama jenis, mengubah jenis kelaminnya, melakukan bunuh diri atau membantu orang lain mengakhiri hidupnya dengan euthanasia.
‘Memesinkan’ Manusia
Worldview sekuler pada akhirnya membawa manusia pada sikap merendahkan sesamanya hingga ke derajat benda mati atau mesin. Jika uang diangkat hingga ke derajat ‘tuhan’ dan manusia direndahkan hingga ke derajat mesin, maka euthanasia akan menemukan pembenarannya. Sebagaimana manusia yang merasa kesulitan karena mesin mobilnya yang sudah tua sering merongrong isi dompetnya, maka manusia tersebut akan merasa senang kalau sudah mengganti mobil tuanya dengan yang baru, yang tidak mudah rusak dan mampu memenuhi kebutuhannya dengan sempurna. Cara pandang sekuler menganggap bahwa manusia, jika sudah tidak lagi mampu untuk berkarya secara produktif atau sudah memenuhi ekspektasi hidupnya, maka ia harus membuang dirinya sendiri atau dibuang (junk himself or be junked).
Cara berpikir ekstrem semacam ini pernah dianut oleh Hitler yang menganggap bahwa orang-orang cacat, sakit keras, tua renta, sakit jiwa atau yang tidak memenuhi kriteria ‘bibit unggul’ sebagai aset yang dapat dibuang begitu saja. Mereka hanya dianggap sebagai beban masyarakat, dan karenanya, semakin cepat dienyahkan akan semakin baik. Meski demikian, wacana euthanasia justru terus dihidupkan dalam peradaban Barat sekarang yang umumnya mencela kekejaman Nazi.
Pandangan Islam Terhadap Manusia
Kita telah melihat betapa worldview sekuler telah secara sistematis melucuti manusia dari kemanusiaannya. Sekularisme mensyaratkan cara pandang yang penuh kebencian terhadap agama. Sebagai hasilnya, lahirlah generasi yang menolak segala hal yang berkaitan dengan agama, padahal agama itulah yang dapat membantu mereka menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan filosofis dalam jiwa mereka sendiri.
Bagaimana pun, manusia tak bisa menghindar dari pertanyaan seputar eksistensi dirinya sendiri. Oleh karena itu, jawaban yang diajukan oleh worldview sekuler adalah yang sejalan dengan pengingkarannya terhadap Tuhan dan agama. Mereka menolak keberadaan jiwa, menolak adanya dorongan atau kecenderungan jiwa manusia terhadap kebenaran, bahkan pada hakikatnya mereka pun menolak adanya kebenaran. Sebagai gantinya, manusia dipandang sebagai hewan yang motif hidupnya hanya memenuhi kebutuhan fisiknya sendiri, tidak memiliki standar moral yang pasti, tidak punya keterikatan dengan kekuatan yang lebih tinggi, diperbudak oleh dirinya sendiri, dan memiliki nilai hidup yang setara dengan nilai kemanfaatannya terhadap masyarakat.
Cara pandang Islam terhadap hakikat diri manusia, yang sudah barang tentu berlawanan dengan worldview sekuler, memberikan implikasi yang sangat besar pada masalah-masalah kemasyarakatan dan pendidikan. Sebagai contoh, apakah memasukkan orang tua ke rumah jompo adalah solusi yang lebih baik daripada memeliharanya di bawah naungan kasih sayang anak-cucunya sendiri? Apakah panti asuhan anak yatim telah mampu memenuhi kebutuhan jiwa anak-anak yatim lebih baik daripada nasihat Rasulullah saw untuk meramaikan rumah setiap Muslim dengan anak-anak yatim itu? Apakah para siswa akan dipandang sebagai mesin yang bisa dipaksa bekerja semaksimal mungkin dengan semata-mata menekankan pada keunggulan intelektualnya, ataukah mereka akan dipandang sebagai manusia yang digerakkan oleh motivasi yang tersembunyi jauh di dalam hatinya dan menghendaki keseimbangan yang harmonis antara aspek-aspek akal, jasmani dan ruhani? Bagi para da’i, masalah-masalah seperti ini tidak kurang pentingnya untuk diperhatikan.

Pengertian Ghazwul Fikri

Secara bahasa Ghazwul Fikri terdiri dari dua kata : ghazwah dan Fikr. Ghazwah berarti serangan, serbuan atau invasi. Fikr berarti pemikiran. Serangan atau serbuan disini berbeda dengan serangan dan serbuan dalam qital (perang).

Secara Istilah Penyerangan dengan berbagai cara terhadap pemikiran umat Islam guna merubah apa yang ada di dalamnya sehingga tidak lagi bisa mengeluarkan darinya hal-hal yang benar karena telah tercampur aduk dengan hal-hal tak islami.




Sasaran Ghazwul Fikri Menjauhkan umat Islam dari Dien (agama) nya.
  • QS. 17:73; QS .5:49. Berusaha memasukkan yang sudah kosong Islamnya kedalam agama kafir. 
  • QS. 2;217, QS. 2;120. Memadamkan cahaya (agama) Allah. QS. 61;8, QS .9;32.
Metode Ghazwul Fikri Membatasi Supaya Islam Tidak Tersebar  Luas. 

  • Tasykik (pendangkalan/keragu-raguan) Gerakan yang berupaya menciptakan keragu-raguan dan pendangkalan kaum muslimin terhadap agamanya.
  • Tasywih (Pencemaran/pelecehan) Upaya orang kafir untuk menghilangkan kebanggaan kaum muslimin terhadap Islam dengan menggambarkan Islam secara buruk.
  • Tadhlil (penyesatan) Upaya orang kafir menyesatkan umat mulai dari cara yang halus sampai cara yang kasar.
  • Taghrib (pembaratan/westernisasi) Gerakan yang sasarannya untuk mengeliminasi Islam, mendorong kaum muslimin agar mau menerima seluruh pemikiran dan perilaku barat. Menyerang Islam dari dalam
  • Penyebaran faham sekuralisme. Berusaha memisahkan antara agama dengan kehidupan bermasyarakat danbernegara.
  • Penyebaran faham nasionalisme. Nasionalisme membunuh ruh ukhuwah Islamiyah yang merupakan azas kekuatan umat Islam.Hadist : “Bukan dari golonganku orang yang mengajak pada ashobiyah dan bukan golonganku orang yang berperang atas dasar ashobiyah dan bukan dari golonganku orang yang mati karena ashobiyah”
  • Pengerusakan akhlak umat lslam terutama para pemudanya.

Sarana Ghazwul Fikri : Mass Media, Cetak, dan Elektronika

Hasil Ghazwul Fikr :
1. Umat Islam menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah QS 25:30
2. Minder dan rendah diri QS 3:139
3. Ikut-ikutan QS 17:36
4. Terpecah-belah QS 30:32

     Alat Penting Ghazwul Fikri Kerusakan akhlak yang diakibatkan oleh berbagai program tayangan TV bukan isapan Jempol, Ghazwul Fikri adalah sebuah proyek besar musuh musuh Islamyang dilancarkan berbagai media TV.

     Realitas suguhan acara televisi di negeri ini nyaris semuanya melanggar syari’ah Islam. Begitu pendapat Abdurrahman Al-Mukaffi dalam bukunya Kategori Acara TV dan Media Cetak Haram di Indonesia. Celakanya, ummat yang mayoritas ini seolah tidak berdaya menghadapi sergapan ghazwul fikri (perang pemikiran) yang dilancarkan musuh-musuh Islam lewat ‘kotak ajaib’ itu.

Kenapa Ghazwul Fikri disebut sebagai tantangan da’wah paling berbahaya? Sebab dibandingkan dengan kebatilan-kebatilan dalam bentuk lain, Ghazwul Fikri jauh lebih merusak dan menghancurkan bahkan secara permanen. Dibandingkan dengan perang fisik atau militer, maka Ghazwul fikri ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain:

  1. Dana yang dibutuhkan tidak sebesar dana yang diperlukan untuk perang fisik.
  2. Sasaran ghazwul fikri tidak terbatas.
  3. Serangannya dapat mengenai siapa saja, dimana saja dan kapan saja.
  4. Tidak ada korban dari pihak penyerang.
  5. Sasaran yang diserang tidak merasakan bahwa sesungguhnya dirinya dalam kondisi diserang.
  6. Dampak yang dihasilkan sangat fatal dan berjangka panjang.
  7. Efektif dan efisien.

Target dan Sasaran ghazul Fikri :
  1. Mencegah ruh Islam tersebar ke seluruh persada bumi
  2. Menyebarkan berbagai kebohongan tentang syari’at Islam
  3. Mengangkat segi-segi kelemahan yang ada di berbagai negara Islam dan membebankannya kepada Islam
  4. Memberikan gambaran bahwa Islam agama kekerasan dan pertunpahan darah
  5. Menampilkan berbagai keistimewaan Islam sebagai kelemahannya
  6. Menuduh Islam merusak daya cipta dan kecerdasan pengikutnya

Inilah ungkapan-ungkapan mereka tentang Islam :

     Misionaris Takly berkata, “..Kita harus menjelaskan kepada umat Islam bahwa apa yang benar di dalam Al-quran bukanlah sesuatu yang baru. Aka tetapi sesuatu yang baru di dalam Al-Quran belumlah tentu benar.”

     Orientalis Perancis berkata, “Agama Muhammad adalah semacam penyakit lepra yang mewabah dan dapat memusnahkan umat manusia secara dahsyat. Siap yang menganut Islam ia akan ditimpa penyakit lemah dan malas…”

     Sebagian yang lain berkata, “Kuburan Muhammad bagaikan aliran tiang listrik yang mengalirkan arus kegilaan ke dalam jiwa orang-orang Islam. Hal inilah yang menyebabkan mereka melakukan hal-hal aneh; seperti mengulang-ulang kata “Allah” tanpa batas, dan menghidupkan kebiasaan lama seperti mencaci daging bai, alcohol dan musik…”

B.    Menghancurkan Islam Dari Dalam

     Mereka menikam Islam dari dalam dengan menggunakan budak-budak atau antek-antek mereka untuk menebarkan pemikiran-pemikiran yang negatif . Dengan menggunakan anak-anak negeri jajahan, diharapkan ghozwul fikri bisa berjalan mulus tanpa ada rintangan yang berarti. Sebagaimana yang kita saksikan dewasa ini tentang gerakan femenisme yang berkembang di berbgai negara Islam yang seolah-olah tidak rela akan kodratnya yang diciptakan beda dengan pria. Mereka mendengungkan slogan emansipasi wanita yang sesungguhnya adalah eksploitasi wanita yang berlebihan dan bertentangan dengan fitarh wanita itu sendiri.

Anehnya dalam Konferensi International Kependudukan dan Pembangunan yang diadakan di Kairo pada tahun 1994, Konferensi yang didukung oleh Barat dan PBB memutuskan sebuah resolusi yang aneh dalam membatasi jumlah penduduk dengan cara-cara sebagai berikut;

  • Melegalisasi aborsi
  • Mengusulkan kebebasab sex education dan sex information
  • Mendorong hubungan seksual ekstra-material
  • Mendukung ekonomi pasar penyebaran alat-alat kontrasepsi
Bentuk-bentuk Ghazwul Fikr

1. Perusakan Akhlaq



     Dengan berbagai media musuh-musuh Islam melancarkan program-program yang bertujuan merusak akhlaq generasi muslim. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, sampai yang tua renta sekalipun. Di antara bentuk perusakan itu adalah lewat majalah-majalah, televisi, serta musik. Dalam media-media tersebut selalu saja disuguhkan penampilan tokoh-tokoh terkenal yang pola hidupnya jelas-jelas jauh dari nilai-nilai Islam. Mulai dari cara berpakaian, gaya hidup dan ucapan-ucapan yang mereka lontarkan.

Dengan cara itu, mereka telah berhasil membuat idola-idola baru yang gaya hidupnya jauh dari adab Islam. Hasilnya betul-betul luar biasa, banyak generasi muda kita yang tergiur dan mengidolakan mereka.


2. Perusakan Pola Pikir


     Dengan memanfaatkan media-media tersebut di atas, mereka juga sengaja menyajikan berita yang tidak jelas kebenarannya, terutama yang berkenaan dengan kaum muslimin. Seringkali mereka memojokkan posisi kaum muslim tanpa alasan yang jelas. Mereka selalu memakai kata-kata; teroris, fundamentalis untuk mengatakan para pejuang kaum muslimin yang gigih mempertahankan kemerdekaan negeri mereka dari penguasaan penjajah yang zhalim dan melampui batas. Sementara itu di sisi lain mereka mendiamkan setiap aksi para perusak, penindas, serta penjajah yang sejalan dengan mereka; seperti Israel, Atheis Rusia, Fundamentalis Hindu India, Serbia, serta yang lain-lainnya. Apa-apa yang sampai kepada kaum muslimin di negeri-negeri lain adalah sesuatu yang benar-benar jauh dari realitas. Bahkan, sengaja diputarbalikkan dari kenyataan yang sesungguhnya.

3. Sekulerisasi Pendidikan


     Hampir di seluruh negeri muslim telah berdiri model pendidikan sekolah yang lepas dari nilai-nilai keagamaan. Mereka sengaja memisahkan antara agama dengan ilmu pengetahuan di sekolah. Sehingga muncullah generasi-generasi terdidik yang jauh dari agamanya. Sekolah macam inilah yang mereka dirikan di bumi Islam pada masa penjajahan (imperialisme), untuk menghancurkan Islam dari dalam tubuhnya sendiri.

4. Pemurtadan



     Ini adalah program yang paling jelas kita saksikan. Secara terang-terangan orang-orang non muslim menawarkan “bantuan” ekonomi; mulai dari bahan makanan, rumah, jabatan, sekolah, dan lain-lainnya untuk menggoyahkan iman orang-orang Islam.

Pastor Takly berkata: “Kita harus mendorong pembangunan sekolah-sekolah ala Barat yang sekuler. Karena ternyata banyak orang Islam yang goyah aqidahnya dengan Islam dan Al Qur’an setelah mempelajari buku-buku pelajaran Barat dan belajar bahasa asing”.

Samuel Zwemer dalam konferensi Al Quds untuk para pastor pada tahun 1935 mengatakan: “Sebenarnya tugas kalian bukan mengeluarkan orang-orang Islam dari agamanya menjadi pemeluk agama kalian. Akan tetapi menjauhkan mereka dari agamanya (Al Qur’an dan Sunnah). Sehingga mereka menjadi orang- orang yang putus hubungan dengan Tuhannya dan sesamanya (saling bermusuhan), menjadi terpecah- belah dan jauh dari persatuan. Dengan demikian kalian telah menyiapkan generasi-generasi baru yang akan memenangkan kalian dan menindas kaum mereka sendiri sesuai dengan tujuan kalian”.

     Abdurrahman membuat 8 kategori acara televisi dan media cetak yang merupakan bagian dari strategi ghazwul fikri, dan karenanya haram ditonton oleh kaum Muslim.

1. Membius pandangan mata/ Pameran aurat

     Banyak disuguhkan wanita-wanita calon penghuni neraka dari kalangan artis dan pelacur. Mereka menjadikan ruang redaksi bagaikan rumah bordil yang menggelar zina mata massal. Saluran televisi dan internet berlomba-lomba menyajikan artis-artis, baik dengan pakaian biasa, ketat, pakaian renang, sampai yang telanjang. Penonton diajak untuk tidak punya rasa malu, hilang iman, mengikuti panggilan nafsu, dan menghidupkan dunia mimpi.

2. Membudayakan ikhtilat (campur baur tanpa batas syar’i).

     Sekumpulan laki-laki dan wanita yang bukan mahram, biasa bergumul jadi satu tanpa batas. Tayangan semacam ini tak ubahnya membuka transaksi zina.

3. Membudayakan khalwat (berdua-duaan).

     Kisah-kisah percintaan bertebaran di berbagai acara. Frekuensi suguhan kisah-kisah pacaran dan kencan makin melegitimasi budaya khalwat.

4. Mengalunkan nyanyian dan musik setan.

     Televisi dan berbagai media audio banyak menyiarkan bait syair lagu berupa mantera perzinaan yang diiringi alunan alat musik berkedokromantisme.

5. Menyemarakkan zina.

     Sajian dari luar negeri maupun lokal yang banyak menyertakan adegan peluk, cium, dan ranjang membuktikan bahwa televisi dan internet adalah corong zina. Aksi zina yang menyeluruh, baik zina mata, telinga, hati, lidah, tangan, kaki, dan kemaluan.

6. Mempromosikan liwath (homoseksual dan lesbian).

     Para artis dan selebritis yang mengidap penyakit homo
seks dijadikan contoh gaya hidup modern dan high class. Kaum homo makin bebas berkeliaran dengan berlindung di bawah payung hak asasi manusia.

7. Menebarkan syirik.

     Televisi banyak mengekspos praktik pedukunan, mistik, ramalan, dan sihir yang dapat menghancurkan aqidah ummat.

8. Tenggelam dalam laghwun.

     Acara-acara yang tak ada manfaatnya banyak disuguhkan untuk pemirsa, misalnya gunjingan/ gosip tentang kehidupan pribadi selebriti dan humor berlebihan, sehingga lupa mengerjakan hal-hal yang justru penting seperti dzikir kepada Allah Subhaanahuwa ta’ala dan belajar ilmu agama maupun dunia.

Ada beberapa strategi kaum Yahudi dan nasrani utuk memerangi Ummat Islam, diantaranya dengan 4F 5S (Food, Fun, Fashion, Film, Sex, Smoke, Sains, Sport, Song).

a. Food

     Secara tidak langsung kita telah bersumbangsih kepada Yahudi dan Nasrani untuk menyerang Islam diantaranya makanan yang bisa kita makan yaitu McD, Fizza Hut, coca colla, dll yang sebenarnya makanan tersebut lebih dikenal dengan junk food ( sampah ) yang tidak baik untuk kesehatan dan juga bisa menurunkan IQ secara drastis

b. Fun

     Remaja pada masa kini lebih senang terhadap hal-hal yanng tidak terikat oleh aturan. Biasanya anak-anak remaja lebih suka jalan-jalan di mall, nonton di bioskop, dan chating dari pada mengikuti kajian tentang ke-Islaman. Secara tidak langsung umat Islam telah terjajah oleh kesenangan sesaat.

c. Fashion


     Masalah ini biasanya lebih digandrungi oleh kaum hawa. Biasanya mereka kurang percaya diri ketika mereka mengenakan baju yang sesuai dengan sya’riat Islam. Mereka lebih cenderung memakai baju yang sexi dan menonjolkan aurat. Kalaupun ada yang menegenakan kerudung lebih suka mengenakan kerudung gaul dan bajunya memeperlihatkan lekak-lakuk tubuhnya.


REFERENSI :

Daud Rasyid, M.A, AL-Ghazwu Al-Fikri dalam sorotan Islam.
Prof. Abdul Rahman H. Habanakah, Metode merusak akhlaq dari Barat,
Abu Ridha, Pengantar Memahami AL-Ghazwu Al-Fikriaa