Psikologi Islam: Cara Islam Memanusiakan Manusia

Pada tanggal 18-19 Mei 2011 yang lalu, sebuah perhelatan besar dilangsungkan di Universitas Ibn Khaldun, Bogor. Acara bertajukInternational Seminar on Islamic Educationdigelar dengan mengundang para ahli dan cendekiawan Muslim dunia untuk menyampaikan pandangan-pandangannya mengenai pendidikan Islam.

Pada sesi pertama di hari pertama, banyak perhatian tertuju pada Prof. Dr. Malik Badri, cendekiawan Muslim dari Sudan yang telah dikenal luas sebagai pelopor dari ilmu psikologi Islam. Boleh dibilang, beliau adalah bintang utama pada sesi hari pertama, dengan membawa pengalaman puluhan tahun berkecimpung di dunia psikologi.
Dalam seminar internasional tersebut, Prof. Malik Badri membawakan makalahnya yang diberi judul Can the Theories and Practices of Western Educational and Psychological Disciplines be of Real Benefit to Muslim Students? Dalam abstraknya, beliau menjelaskan bahwa makalahnya tersebut berusaha menjelaskan manfaat yang bisa didapat dari proses islamisasi terhadap psikologi dan pendidikan modern, terutama yang datangnya dari Barat. Islamisasi ini perlu karena ilmu pengetahuan tentang manusia dan kehidupan sosialnya yang dirumuskan oleh Barat berpijak pada pemahaman yang sekuler, bahkan antagonistik terhadap agama.
Prof. Malik memulai uraiannya dengan menjelaskan bahwa tak ada masyarakat manusia, baik yang modern mau pun yang primitif, yang dapat eksis tanpa terikat dengan suatu worldview(cara pandang terhadap dunia) yang berlaku pada mayoritas penduduknya. Konsekuensinya,worldview ini memberikan pengaruh pada hubungan social mereka dan cara mereka mendidik dan membimbing anak-anak mereka dalam memahami perilaku abnormal dan penanganannya.
Inti dari worldview ini adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan abadi seputar sifat-sifat dasar manusia, dari mana ia berasal dan ke mana ia akan pergi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sendirinya berkaitan dengan hakikat kehidupan di dunia ini, keberadaan hidup sesudah mati, isu-isu mengenai alam semesta, bagaimana ia diciptakan, siapa yang memeliharanya dan apakah ia bersifat abadi ataukah fana. Worldview, baik yang berketuhanan (theistic) maupun tidak berketuhanan (non-theistic), pasti menawarkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan senantiasa memberikan kepastian kepada para penganutnya bahwa cara hidup mereka adalah yang benar. Dengan demikian, bahkanworldview yang paling sekuler dan materialistik sekalipun pastilah berperan seperti kepercayaan religius (religious belief), yaitu sebuah agama dari ketidakreligiusan (a religion of irreligiousness).
Prof. Malik menekankan bahwa pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan filosofis dan spiritual semacam itu memiliki akar yang sangat mendalam pada jiwa manusia. Anak umur empat tahun di seluruh belahan dunia dari seluruh latar belakang kebudayaan dapat tiba-tiba saja mengajukan pertanyaan filosofis yang tidak mudah untuk dijawab. Pada usia dini seperti inilah anak-anak mulai menerima indoktrinasi untuk melakukan keingkaran atau memilih jalan hidup yang ateis. Hal ini, menurut Prof. Malik, sejalan dengan sebuah hadits shahih yang mengatakan bahwa setiap bayi lahir ke dunia dalam keadaan fitrah, sedangkan orang tuanyalah yang menjadikan mereka Nasrani, Yahudi atau Majusi. Dalam perjalanan kedewasaannya itulah manusia menerima indoktrinasi yang menyimpangkan mereka dari jalan Islam.
QS. Al-A’raaf [7]: 172 juga menjelaskan bahwa seluruh jiwa manusia telah dikumpulkan di hadapan Allah SWT dan semuanya bersaksi bahwa Allah adalah Rabb mereka. Dengan demikian, hidup sebagai hamba adalah naluri dasar bagi setiap manusia. Jika kita tidak menjadi hamba Allah, maka kita akan menjadi hamba bagi partai, suku, bangsa, rekening bank, istri, atau yang lainnya. Dari situlah kita menentukan worldview mana yang akan kita pilih sebagai ‘agama’ kita.
Kebencian Terhadap Agama
Sejalan dengan analisis Dr. Adian Husaini ketika membedah sejarah kelahiran sekularisme (lihat pembahasannya di Majalah Al-Intima’ edisi lalu), Prof. Malik Badri juga menggarisbawahi pengalaman sejarah bangsa Eropa ketika Gereja menghegemoni. Jutaan manusia menjadi korban dari penindasan yang dilakukan oleh lembaga Inkuisisi hingga akhirnya masyarakat Eropa tak lagi bisa menerima cara hidup yang demikian dan mereka pun menolak agama ekstrem. Gelombang sekularisasi yang melucuti Gereja dari berbagai kewenangannya diikuti oleh abad Pencerahan (Renaissance) yang membawa Barat pada puncak kemajuan sains dan teknologinya.
Secara provokatif, para filsuf Barat mengekspresikan kebenciannya terhadap agama. Bertrand Russell, misalnya, menulis sebuah buku berjudul Why I Am Not A Christian. Dalam buku tersebut, Russell mengatakan bahwa “… the more intense has been the religion of any period and the more profound has been the dogmatic belief, the greater has been the cruelty and the worse has been the state of affairs.” (…semakin intens agama pada periode yang mana pun dan semakin dalam kepercayaan dogmatisnya, semakin dahsyat pula kekejamannya dan semakin parah kerusakan yang ditimbulkannya.)
Sikap antiagama semacam ini mengarah pada sekularisasi kemanusiaan yang memandang manusia sebagai makhluk tanpa jiwa. Tidak hanya itu, beberapa pemikir yang beraliran radical behaviorism juga berpendapat bahwa manusia juga tidak memiliki pikiran dan kesadaran, semata-mata karena akal dan kesadaran tak dapat diukur sama sekali. Bagi kaum behavioristseperti ini, manusia hanya memberikan respon pada stimuli yang diberikan oleh lingkungannya. Dalam ilmu pengetahuan yang telah disekulerkan semacam ini, tak ada tempat untuk Tuhan dan motif-motif keagamaan dalam jiwa manusia. Pandangan radikal semacam ini digambarkan dengan jelas oleh Sigmund Freud, tokoh yang mungkin paling berpengaruh di dunia psikologi:

They give the name of ‘God’ to some vague abstraction which they have created for themselves; having done so they can pose before all the world as deists, as believers in God, notwithstanding that their God is now nothing more than an insubstantial shadow…” (Mereka memberi nama ‘Tuhan’ untuk suatu abstraksi samar yang telah mereka ciptakan untuk diri mereka sendiri; dengan melakukannya mereka bisa berdiri di hadapan seluruh dunia sebagai kaum yang bertuhan, sebagai orang-orang yang percaya pada Tuhan, tanpa menyadari bahwa Tuhan mereka kini tidak lebih dari suatu bayangan yang tidak substansial…)
‘Menghewankan’ Manusia
Berbagai pemikiran yang lahir dalam iklim sekuler di Barat telah memberikan kontribusi dalam membentuk worldview mereka. Di antara kesemuanya itu, teori evolusi Darwin, psikoanalisa Freud dan behaviorism ala Watson telah memberikan pengaruh yang paling dominan.
Penolakan terhadap jiwa akan menempatkan manusia tidak lebih dari sekedar hewan yang superior, dan teori Darwin memudahkan masyarakat sekuler untuk menerima hal tersebut. Watson tampil dan mengatakan bahwa manusia tidak ada bedanya dengan hewan kecuali pada tipe perilaku yang ditampilkannya. Watson bahkan menyalahkan agama karena telah menghalangi manusia dari mengakui dirinya sebagai hewan, dan karenanya, menimbulkan permasalahan bagi dirinya sendiri.
…as a psychologist, if you are to remain scientific, must describe the behaviour of man in no other terms than those you would use in describing the behaviour of the ox you slaughter…” (…sebagai seorang psikolog, jika Anda ingin tetap bersikap ilmiah, maka Anda harus menggambarkan perilaku manusia dalam istilah-istilah yang juga Anda gunakan dalam menggambarkan perilaku sapi yang Anda sembelih…)
Mempertuhankan Manusia
Meskipun posisi sebagai ‘hewan’ dan ‘tuhan’ nampak cukup kontradiktif, namun sikap ‘menghewankan’ manusia dan mempertuhankannya berkontribusi pada sekularisme dengan cara yang berbeda, Jika sebelumnya manusia ‘dibebaskan’ dari aturan agama dan perasaan takut dari hukuman di akhirat sehingga kehidupannya tidak berbeda dari hewan, maka kini manusia ‘diangkat’ hingga ke level tuhan, sehingga mereka pun tidak canggung membuat aturan-aturannya sendiri, termasuk standar moral yang akan dianutnya sendiri.
Kaum behaviorist berpendapat bahwa manusia tidak memiliki sifat dasar; mereka layaknya daun kering yang diterbangkan oleh angin dari lingkungannya sendiri. Perilaku mereka hanya ditentukan oleh pengaruh lingkungan dan budaya di sekitarnya. Oleh karena itu, tidak ada standar etika yang berlaku secara umum. Pada akhirnya, kebenaran hanyalah masalah kesepakatan belaka. Oleh karena itu, di negara-negara Barat, manusia tidak lagi menganggap tabu hubungan homoseksual, menikah dengan sesama jenis, mengubah jenis kelaminnya, melakukan bunuh diri atau membantu orang lain mengakhiri hidupnya dengan euthanasia.
‘Memesinkan’ Manusia
Worldview sekuler pada akhirnya membawa manusia pada sikap merendahkan sesamanya hingga ke derajat benda mati atau mesin. Jika uang diangkat hingga ke derajat ‘tuhan’ dan manusia direndahkan hingga ke derajat mesin, maka euthanasia akan menemukan pembenarannya. Sebagaimana manusia yang merasa kesulitan karena mesin mobilnya yang sudah tua sering merongrong isi dompetnya, maka manusia tersebut akan merasa senang kalau sudah mengganti mobil tuanya dengan yang baru, yang tidak mudah rusak dan mampu memenuhi kebutuhannya dengan sempurna. Cara pandang sekuler menganggap bahwa manusia, jika sudah tidak lagi mampu untuk berkarya secara produktif atau sudah memenuhi ekspektasi hidupnya, maka ia harus membuang dirinya sendiri atau dibuang (junk himself or be junked).
Cara berpikir ekstrem semacam ini pernah dianut oleh Hitler yang menganggap bahwa orang-orang cacat, sakit keras, tua renta, sakit jiwa atau yang tidak memenuhi kriteria ‘bibit unggul’ sebagai aset yang dapat dibuang begitu saja. Mereka hanya dianggap sebagai beban masyarakat, dan karenanya, semakin cepat dienyahkan akan semakin baik. Meski demikian, wacana euthanasia justru terus dihidupkan dalam peradaban Barat sekarang yang umumnya mencela kekejaman Nazi.
Pandangan Islam Terhadap Manusia
Kita telah melihat betapa worldview sekuler telah secara sistematis melucuti manusia dari kemanusiaannya. Sekularisme mensyaratkan cara pandang yang penuh kebencian terhadap agama. Sebagai hasilnya, lahirlah generasi yang menolak segala hal yang berkaitan dengan agama, padahal agama itulah yang dapat membantu mereka menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan filosofis dalam jiwa mereka sendiri.
Bagaimana pun, manusia tak bisa menghindar dari pertanyaan seputar eksistensi dirinya sendiri. Oleh karena itu, jawaban yang diajukan oleh worldview sekuler adalah yang sejalan dengan pengingkarannya terhadap Tuhan dan agama. Mereka menolak keberadaan jiwa, menolak adanya dorongan atau kecenderungan jiwa manusia terhadap kebenaran, bahkan pada hakikatnya mereka pun menolak adanya kebenaran. Sebagai gantinya, manusia dipandang sebagai hewan yang motif hidupnya hanya memenuhi kebutuhan fisiknya sendiri, tidak memiliki standar moral yang pasti, tidak punya keterikatan dengan kekuatan yang lebih tinggi, diperbudak oleh dirinya sendiri, dan memiliki nilai hidup yang setara dengan nilai kemanfaatannya terhadap masyarakat.
Cara pandang Islam terhadap hakikat diri manusia, yang sudah barang tentu berlawanan dengan worldview sekuler, memberikan implikasi yang sangat besar pada masalah-masalah kemasyarakatan dan pendidikan. Sebagai contoh, apakah memasukkan orang tua ke rumah jompo adalah solusi yang lebih baik daripada memeliharanya di bawah naungan kasih sayang anak-cucunya sendiri? Apakah panti asuhan anak yatim telah mampu memenuhi kebutuhan jiwa anak-anak yatim lebih baik daripada nasihat Rasulullah saw untuk meramaikan rumah setiap Muslim dengan anak-anak yatim itu? Apakah para siswa akan dipandang sebagai mesin yang bisa dipaksa bekerja semaksimal mungkin dengan semata-mata menekankan pada keunggulan intelektualnya, ataukah mereka akan dipandang sebagai manusia yang digerakkan oleh motivasi yang tersembunyi jauh di dalam hatinya dan menghendaki keseimbangan yang harmonis antara aspek-aspek akal, jasmani dan ruhani? Bagi para da’i, masalah-masalah seperti ini tidak kurang pentingnya untuk diperhatikan.

0 komentar:

Posting Komentar